Postingan

CAHAYA RAMADHAN, DAMAI DALAM PERBEDAAN

Gambar
Akhir ini, catatan hubungan antar umat beragama masih buram, bahkan kelam. Puluhan, bahkan sudah ratusan rumah ibadah dibakar oleh sekelompok orang dengan dalih dan dalil agama. Padahal, agama menurut Berger dapat berfungsi sebagai tenda atau payung besar ( paramount/canopy ) yang menaungi kehidupan masyarakat untuk bertindak sejalan dengan norma yang dianut oleh masyarakat, karena agama adalah langit suci, kanopi sakral, ( sacred canopy ), yang melindungi masyarakat dari situasi meaningless , chaos , dan chauvinistic. Tidak layak menyalahkan agama, karena sebagai dogma agama telah bekerja secara baik dengan caranya sendiri mengatur kehidupan manusia. Mungkin, yang kurang tepat adalah cara pandang kita terhadap agama lain, atau tafsir kita tentang kemajemukan yang telah given diberikan oleh Tuhan, atau mungkin kemajuan ilmu pengetahuan menyebabkan kita sering abai dan apatis melakukan klarifikasi terhadap berita di linimasa yang bergerak sedemikian cepatnya. Sebagai dogma, ag

“OJO PEKOK” DALAM BERAGAMA

Gambar
Wong urip neng alam ndonya niki janji mboten pekok, pikiran digawe encer, senajan ra duwe ya bisa nyandhang, bisa madhang, bisa netepi kelumrahan. Ning nek wong pekok kancane setan. Nek mboten pekok setan ra doyan, " (Mbah Suparni). Secara umum, makna dari tuturan ini adalah, " Orang hidup di dunia ini asal tidak gampang marah, pikiran tetap encer, meskipun tidak punya (harta) ya tetap bisa berpakaian, bisa makan, bisa mengikuti kelumrahan hidup. Namun kalau gampang marah akan menjadi teman setan. Kalau tidak gampang marah, setan tak berani mendekat" Fenomena istilah “Pekok” yang dipopulerkan oleh Mbah Suparni dan viral di media sosial, sebenarnya adalah khasanah sosiologis idiom masyarakat Jawa, untuk menyebut dan menunjuk pada karakter yang labil dan mudah tersulut. Namun demikian, ia juga terkadang sebagai pelengkap persahabatan jika seseorang merajuk, marah, maka akan terlontar kalimat dari lawan bicaranya “ Ojo Pekok ” atau jangan ngambek, jangan mara

LAUTAN OPTIMISME DI ”KAMPUNG HALAMAN”

Gambar
Rasa takut itu berakar pada keinginan laten untuk selalu hidup nyaman, dan rasa takut itu kemudian menjalar kepada bebagai wilayah aktifitas manusia. Lebih jauh lagi, rasa takut itu kemudian melahirkan anak-pinak, yaitu takut akan bayang-bayang ketakutan itu sendiri sehingga muncul ungkapan, musuh terbesar dan terdekat kita adalah rasa takut itu sendiri yang berakar kuat dalam diri. Esensinya ialah sikap penolakan akan kematian karena kematian itu selalu diidentikkan dengan tragedi, sakit, ketidak berdayaan, kehilangan dan kebangkrutan hidup (Komarudin Hidayat) Pada tahun 2010, seorang kawan saya bercerita ketika mengikuti interview pada lembaga PBB United Nations Children's Fund (UNICEF) . Seorang interviewer yang konon penganut Agnotisme bertanya “what is definite in life”   (apa yang pasti dalam hidup), kawan saya langsung menjawab satu kata “death” (mati). Sontak bule tersebut menimpali “congratulation”, sebagai sinyal bahwa kawan saya tersebut lulus. Rupanya, jawaban